Perang Enam Hari (bahasa Ibrani: מלחמת ששת הימים Milkhemet Sheshet HaYamim, bahasa Arab : حرب الأيام الستة ħarb al-’ayyam as-sittah), juga dikenali sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.
Pada bulan Mei tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika itu UNEF telah berpatroli disana sejak tahun 1957 (yang disebabkan oleh invasi atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.
Latar belakang
Akibat Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956
Nasser (Mesir), didukung oleh negara-negara Arab lainnya dengan tegas menendang Israel masuk ke laut. Gambar pra 1967. Surat kabar Al-Farida, Libanon.
Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun Mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.
Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari “perang pembebasan rakyat”, dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba’ath. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.
Pengangkut Air Nasional Israel
Pada tahun 1964, Israel telah mulai mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional Israelnya. Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat “Rencana Pengalihan Air”. Apabila rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel dan Danau Galilea melainkan mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah, serta mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan mengurangi kapasitas air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak 35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.
Angkatan Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan Maret, Mei dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut di sepanjang perbatasan, yang berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang nantinya akan memulai perang.
Israel dan Yordania: Peristiwa Samu
Pada tanggal 12 November 1966, seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan terbunuhnya 3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau tersebut telah ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13 November 1966, Raja Hussein, yang sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia dengan Abba Eban dan Golda Meir untuk membahas keamanan perbatasan dan perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania. Walaupun begitu, pada pukul 5:30 pagi, Hussein menyatakan bahwa “dengan alasan ‘balas dendam terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.’, Pasukan Israel menyerang Es Samu, sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya merupakan pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari Suriah”.
Dalam “Operasi Shredder”, operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan pesawat tempur ini dibagi kedalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang, yang menyebrang ke Tepi Barat yang dikuasai Yordania.
Pasukan yang lebih besar, delapan tank Centurion diikuti dengan 400 pasukan lintas udara yang dimuatkan kedalam 40 truk dan 60 insinyur militer dalam 10 truk menuju kearah Samu, sementara sejumlah pasukan kecil yang terdiri daripada tiga tank dan 100 pasukan payung terjun dan insinyur militer yang menuju ke dua desa yang lebih kecil, Kirbet El-Markas dan Kirbet Jimba, dalam satu misi untuk mengebom rumah-rumah. Di Samu, tentara Israel menghancurkan satu-satunya klinik di desa, satu sekolah perempuan, pejabat pos, perpustakaan, satu kedai kopi dan sekitar 140 buah rumah. Laporan berbeda mengenai peristiwa ini telah dibuat yang merujuk kepada buku Terrence Prittie, Eshkol: The Man and the Nation dimana menyatakan 50 rumah telah diledakan tetapi penghuni-penghuni rumah tersebut telah dipindahkan beberapa jam sebelumnya. Batalion Infantri tentara Yordania ke-48, yang diarahkan oleh Mayor Asad Ghanma, bergerak menuju ke arah tentara Israel di barat laut Samu dan dua kompeni yang bergerak menuju timur laut telah diserang oleh Israel, ketika satu pleton Yordania yang bersenjatakan dua meriam 106 mm memasuki Samu. Dalam pertempuran, tiga orang sipil Yordania dan 15 tentara tewas, 54 tentara lain dan 96 orang sipil cedera. Letnan kolonel batalion pasukan lintas udara Israel, Kolonel Yoav Shaham, tewas dan sepuluh tentara lainnya cedera.[11][12] Merujuk kepada data pemerintah Israel, lima puluh tentara Jordan tewas namun jumlah sebenarnya telah dirahasiakan demi menjaga moral dan keyakinan pada rezim Raja Hussein.
Dua hari kemudian dalam satu memo kepada Presiden Johnson, asisten khususnya Walt Rostow menulis “tindakan balas dendam bukan inti kasus ini. Serangan 3000 orang dengan tank dan pesawat-pesawat ini terlalu berlebihan terhadap provokasi yang terjadi, dan diarahkan kepada sasaran yang salah” dan kemudian menggambarkan kerusakan terhadap kepentingan Amerika Serikat dan Israel: “Mereka telah memusnahkan sistem kerjasama yang bagus diantara Hussein dan pihak Israel… Mereka telah menghianati Hussein. Kita telah mengeluarkan $500 juta untuk membinanya sebagai salah satu faktor kestabilan pada perbatasan terpanjang Israel dan terhadap Suriah dan Irak. Serangan Israel meningkatkan tekanan terhadap Hussein untuk menyerang balik, tidak hanya dari negara-negara Arab yang radikal dan orang Palestina di Yordania, tetapi juga dari angkatan darat, yang merupakan sumber dukungan utamanya, dan mungkin sekarang memaksa untuk mendapatkan kesempatan membalas kekalahan pada hari Minggu… Israel telah merusak kemajuan menuju adanya akomodasi dengan orang-orang Arab. Mereka mungkin memperlihatkan pada Suriah yang merupakan biang keladi, bahwa Israel tidak berani menyerang Suriah yang dilindungi oleh Uni Soviet, namun boleh menyerang Yordania yang didukung oleh Amerika Serikat tanpa ada hukuman.”
Dalam menghadapi kritik dari orang Yordania, Palestina dan tetangga Arab lainnya karena kegagalannya dalam mempertahankan Samu, Hussein memerintahkan untuk menjalankan mobilisasi nasional pada tanggal 20 November 1966. Pada tanggal 25 November 1966, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 228 dan menyesali “kehilangan nyawa dan kerusakan besar menyebabkan terjadinya tindakan Israel pada tanggal 13 November 1966″, mengancam “Israel karena jumlah pasukan berskala besar yang melanggar Piagam PBB dan Perjanjian Perdamaian antara Israel dan Yordania” dan menekan “kepada Israel bahwa tindakan balas dengan mengirim tentara tidak dapat ditolerir dan jika mereka mengulangi hal tersebut, Dewan Keamanan PBB akan mempertimbangkan langkah-langkah efektif seperti yang dibayangkan di dalam Piagam untuk memastikan pencegahan terhadap pengulangan tindakan yang sedemikian.”
Dalam satu telegram untuk Departemen Negara Bagian pada tanggal 18 Mei 1967, Duta besar Amerika Serikat di Amman, Findley Burns, telah melaporkan bahwa Hussein telah menjelaskan opininya dalam sebuah perbincangan sehari sebelumnya bahwa
“ | “Yordania adalah salah satu sasaran dalam jangka pendek dan dalam pandangan Hussein, ia pasti berlaku dalam jangka panjang…. Israel mempunyai kebutuhan militer dan ekonomi yang panjang serta tradisi agama dan aspirasi sejarah yang tertentu dimana pada pandangan Hussein mereka masih belum puas. Satu-satunya cara agar keinginan mereka tercapai adalah dengan mengubah status Tebing Barat, Yordania. Oleh sebab itu pandangan Hussein adalah hal yang bagi Israel merupakan kesempatan untuk mengambil kelebihan dari suatu peluang dan memaksa situasi apapun yang membuat mereka lebih dekat kepada keinginan mereka. Hussein mengkhawatirkan bahwa keadaan pada saat itu yang memberi kesempatan terhadap teroris, penyelundupan dan perpecahan diantara orang Arab yang sangat jelas,” |
dan mengenang peristiwa Samu
“ | “Hussein menyatakan bahwa jika Israel melancarkan serangan serangan berskala-Samu terhadap Yordania, ia tidak memiliki pilihan lain selain untuk membalas serangan mereka atau ia akan menghadapi pemberontakan di negaranya. Jika Yordania menyerang balas, tanya Hussein, apakah ini akan memberikan Israel suatu kesempatan untuk merebut wilayah Yordania dan mempertahankan wilayah Yordania yang direbut? Atau Israel mungkin akan menyerang dengan jenis serangan tembak-dan-lari hanya untuk menaklukan dan mempertahankan wilayah dalam perang sebelumnya. Hussein menyatakan bahwa ia tidak mungkin mengeluarkan kemungkinan-kemungkinan ini dari perkiraannya dan mendesak kami agar jangan berbuat demikian walaupun kita hanya ingin merasakannya.” | ” |
Israel dan Suriah
Selain mendukung serangan-serangan kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga mengesalkan Raja Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan atas penguasaan Zona Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel dan Suriah.
Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling membantu bila salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2 alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan penghukuman terhadap Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat.
Selama kunjungan ke London pada bulan Februari tahun 1967, Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban menjelaskan kepada hadirin tentang “harapan dan kegelisahan” Israel, bahwa walaupun Libanon, Yordania dan Republik Persatuan Arab (nama resmi Mesir sampai 1971) sepertinya berkeputusan untuk berkonfrontasi aktif melawan Israel, masih perlu dilihat apakah Suriah dapat mengekang diri sehingga permusuhan dapat dibatasi hanya sampai tingkatan retorik.
Pada tanggal 7 April 1967, suatu peristiwa kecil di perbatasan telah menyebabkan satu pertempuran udara berskala besar di Dataran Tinggi Golan yang mengakibatkan Suriah kehilangan enam MiG-21, yang dikalahkan oleh Dassault Mirage III Angkatan Udara Israel, yang juga terbang melintasi Damaskus. Tank, mortir, dan artileri digunakan oleh berbagai pihak sepanjang 47 mil (76 km) perbatasan, yang dijelaskan sebagai “suatu perselisihan terhadap hak pengerjaan tanah dalam Zona Demiliterisasi, di sebelah tenggara Danau Tiberias.” Pada awal minggu, Suriah telah 2 kali menyerang traktor Israel yang bekerja di kawasan tersebut, dan ketika traktor itu kembali lagi di pagi hari tanggal 7 April 1967, Suriah pun melepaskan tembakan. Israel bereaksi dengan mengirim beberapa traktor lapis baja untuk terus membajak, mengakibatkan berlanjutnya aksi tembak-menembak. Pesawat Israel menjatuhkan bom-bom seberat 250 dan 500 kilogram ke lokasi-lokasi Suriah. Suriah membalas dengan menembak pemukiman-pemukiman Israel di perbatasan dan pesawat jet Israel membalas dengan mengebom desa Sqoufiye yang menghancurkan 40 rumah. Pada pukul 15:19, tembakan Suriah mulai jatuh di Kibbutz Gadot, sebanyak 300 tembakan telah jatuh dalam lingkungan kibbutz dalam waktu 40 menit. UNTSO mencoba untuk menyusun gencatan senjata, namun Suriah menolak untuk bekerja sama jika pengerjaan tanah Israel tidak dihentikan.
Perdana Menteri Israel, Levi Eshkol yang berbicara dalam suatu pertemuan partai politik sayap kiri Mapai di Yerusalem pada tanggal 11 Mei 1967, ia memberikan ancaman bahwa Israel tidak ragu-ragu untuk mengirim serangan udara dalam skala yang sebesar pada tanggal 7 April 1967 sebagai balasan terhadap terorisme di perbatasan yang berkelanjutan. Pada hari yang sama, Gideon Rafael, utusan Israel memberikan surat kepada Dewan Keamanan PBB dan memberikan ancaman bahwa Israel akan “bertindak untuk mempertahankan diri jika keadaan sekitar memungkinkan”. Ditulis dari Tel Aviv pada tanggal 12 Mei 1967, James Feron melaporkan bahwa sebagian dari pemimpin Israel memutuskan untuk mengirim pasukan “yang kuat tetapi dalam kurun waktu yang singkat dan pada kawasan yang terbatas” terhadap Syria. Laporan itu juga mengutip “seorang pengamat yang berwibawa” yang “berkata bahwa Republik Persatuan Arab, sekutu Suriah yang paling dekat di dunia Arab, tidak akan ikut campur kecuali jika serangan Israel meluas”.
Pada awal bulan Mei tahun 1967, kabinet Israel memberikan hak atas serangan terbatas terhadap Suriah, namun permintaan semula oleh Rabin untuk menyerang secara besar-besaran agar dapat menggulingkan rezim Ba’ath ditentang oleh Eshkol.
Peristiwa di perbatasan terus bertambah dan banyak pemimpin Arab, termasuk para pemimpin politik dan militer, meminta untuk mengakhiri tindakan Israel. Mesir, yang pada saat itu mencoba merebut kedudukan yang utama di dalam dunia Arab di bawah Nasser, turut menyertai rencana-rencana untuk memiliterisasi Sinai. Suriah mengutarakan pandangan-pandangan itu, walaupun tidak siap untuk melakukan serangan tiba-tiba. Uni Soviet mendukung keperluan militer negara-negara Arab dengan aktif. Intelijen Soviet memberikan laporan yang diberikan oleh Presiden Uni Soviet Nikolai Podgorny kepada Wakil Presiden Mesir Anwar Sadat menyatakan bahwa tentara Israel sedang berkumpul di sepanjang perbatasan Suriah. Pada tanggal 13 Mei, laporan Soviet yang bohong itu didedahkan. Namun laporan palsu itu terungkap pada tanggal 13 Mei 1967.Pada bulan Mei tahun 1967, Hafez Assad, selanjutnya Menteri Pertahanan Suriah juga menyatakan: “Pasukan kami sekarang seluruhnya siap tidak hanya untuk menahan agresi, namun untuk mengusahakan aksi pembebasan, dan untuk menghancurkan kehadiran Zionis di tempat tinggal Arab. Pasukan Suriah, dengan jarinya mencetuskan persatuan… Saya, sebagai seseorang yang secara militer percaya bahwa waktunya telah tiba untuk memasuki pertempuran pembinasaan.”
Mundurnya Pasukan Keamanan PBB
Pada pukul 10.00 malam 16 Mei, Jendral Indar Jit Rikhye, letnan kolonel United Nations Emergency Force (UNEF), menerima surat dari Jendral Mohammed Fawzy yang berbunyi:
“ | Sebagai informasi untuk anda, saya telah mengarahkan semua tentara Republik Persatuan Arab agar mempersiapkan diri untuk melakukan tindakan terhadap Israel jika negara itu melakukan tindakan yang agresif terhadap salah satu negara Arab. Oleh karena instruksi ini, tentara kita kini bertumpu di perbatasan timur kita di Sinai. Oleh sebab itu, agar pasukan keamanan PBB yang ditempatkan di pos-pos pengawasan pada sepanjang perbatasan kita, saya meminta agar anda memerintahkan pengunduran semua tentara dengan segera.” | ” |
Rikhye berkata bahwa ia akan melaporkan kepada sekretaris jendral untuk mendapat instruksi selanjutnya.
U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Tentara Mesir juga menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos mereka. India dan Yugoslavia memutuskan untuk menarik semua tentara mereka dari UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini berlangsung, U Thant memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah memutuskan untuk menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan meminta agar diambil langkah untuk semua pasukan darurat mundur dengan segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi Sinai, dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan Israel.
Selat Tiran
Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir mengumumkan bahwa mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan ditutup untuk “semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa bahan-bahan strategik”. Nasser juga menyatakan, “Tidak akan membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba dengan alasan apapun.” Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut Tengah, dan menurut John Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel tidak pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni tahun 1967, minyak yang dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan bendera Israel merupakan impor yang sangat penting bagi Israel. [34] [35] Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera Israel.
Melihat hukum internasional, Israel menganggap bahwa Mesir telah menyalahi undang-undang jika negara tersebut menutup Selat Tiran, dan menyatakan bahwa Israel akan menganggap blokade itu sebagai suatu casus belli pada tahun 1957 ketika Israel mundur dari Sinai dan Jalur Gaza. Negara-negara Arab memperdebatkan hak Israel untuk melewati Selat Tiran kerana mereka tidak menandatangani Konvensi PBB tentang peraturan laut terutama kerana Pasal 16(4) memberikan hak tersebut kepada Israel. Dalam perselisihan Majelis Umum PBB, banyak negara mengemukakan alasan bahwa jika hukum internasional memberikan hak untuk lewat kepada Israel, Israel tidak berhak menyerang Mesir untuk menuntut haknya karena penutupan itu bukan merupakan “serangan bersenjata” seperti yang tertulis dalam Pasal 51 dalam Piagam PBB. Selain itu menurut profesor hukum internasional John Quigley, berdasarkan doktrin proporsional, Israel berhak menggunakan kekuatan bersenjata hanya seperlunya saja demi mengamankan haknya untuk lewat.
Israel memperhatikan penutupan selat itu dengan serius dan meminta Amerika Serikat dan Britania Raya untuk membuka Selat Tiran seperti yang telah mereka jaminkan pada tahun 1957. Proposal Harold Wilson agar adanya kekuatan laut internasional untuk memecahkan krisis ini disetujui oleh Presiden Johnson, akan tetapi ia tidak menerima banyak dukungan, dan hanya Britania Raya dan Belanda yang menawarkan bantuan berupa kapal-kapal.
Mesir dan Yordania
Ideologi Nasser yang berbentuk pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga pada tanggal 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab itu, ia bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania. Presiden Nasser, dimana telah menyebut Raja Hussein sebagai seorang “pesuruh imperialis”, pada awal hari menyatakan:
“ | Tujuan awal kita semua adalah kehancuran Israel. Orang-orang Arab ingin berperang.”[40] | ” |
Pada akhir bulan Mei tahun 1967, tentara Yordania telah dikomando oleh Jendral Mesir, Jendral Abdul Munim Riad. Pada hari yang sama, Nasser menyatakan:
“ | Tentara Mesir, Yordania, Suriah dan Lebanon sedang dalam keadaan tenang di perbatasan Israel… untuk menghadapi tantangan, dimana di belakang kami berdiri tentara Irak, Aljazair, Kuwait dan Sudan dan semua negara Arab. Aksi ini akan mengherankan dunia. Hari ini mereka akan mengetahui bahwa Arab telah siap untuk sebuah pertempuran, waktu yang menentukan telah tiba. Kita telah mencapai panggung aksi serius dan bukan deklarasi-deklarasi lainnya. Kami telah mencapai panggung aksi serius dan tidak lagi mengeluarkan deklarasi.” | ” |
Israel telah meminta Yordania beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut dalam peperangan dan menerima risiko dari balasan Israel, atau agar tetap netral dan mendapat risiko akan terjadinya revolusi di Yordania. Jendral Sharif Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa “Jika Yordania tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan Yordania”.
Israel memiliki pandangannya sendiri berkaitan dengan peranan Yordania dalam perang yang berdasarkan kekuasaan Yordania atas Tepi Barat. Hal ini akan membuat tentara Arab yang hanya berjarak 17 kilometer dari pantai Israel yang merupakan suatu titik perubahan dimana serangan tank akan membelah Israel menjadi dua dalam waktu 2 jam. Walaupun jumlah tentara Yordania memiliki arti bahwa Yordania mungkin tidak akan melaksanakan latihan militer karena berhubungan dengan sejarah bahwa negara ini digunakan oleh negara Arab lainnya sebagai panggung untuk operasi melawan Israel, oleh sebab itu, serangan dari Tepi Barat akan menjadi ancaman bagi Israel. Pada waktu yang sama, negara Arab yang tidak berbatasan dengan Israel, seperti Irak, Sudan, Kuwait dan Aljazair mulai menggerakkan tentara mereka.
Aliran menuju peperangan
Dalam ucapannya kepada orang-orang Arab pada tanggal 26 Mei 1967, Nasser menyatakan:
“ | Jika Israel memulai agresi terhadap Suriah atau Mesir, pertempuran ini akan menjadi hal yang umum… dan tujuan dasar kita adalah untuk menghancurkan Israel.” | ” |
Menteri Luar Negeri Israel, Abba Eban menulis dalam biografinya bahwa ia telah diinformasikan oleh U Thant mengenai janji Nasser untuk tidak menyerang Israel, sehingga Abba Eban telah mendapat jaminan yang meyakinkan bahwa
“ | …Nasser tidak ingin adanya peperangan, ia hanya menginginkan kemenangan tanpa peperangan. | ” |
Ditulis dari Mesir pada tanggal 4 Juni 1967, jurnalis New York Times James Reston memiliki pandangan :
“ | Kairo tidak ingin adanya peperangan dan ia tidak siap untuk sebuah peperangan. Tetapi ia menerima kemungkinan, walaupun hanya kemungkinan, seolah-olah ia telah kehilangan kekuasaan atas situasi. | ” |
Sebuah tulisan ditulis pada tahun 2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya bahwa hal itu adalah hal yang lazim di Israel sebelum perang tersebut karena Israel “dikepung oleh negara Arab. Mesir dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, nasionalis yang pasukannya merupakan pasukan terkuat di Timur Tengah. Suriah dipimpin oleh Partai Ba’ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk mendorong Israel ke laut.” Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi provokasi oleh Nasser, termasuk penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer, dan Amerika Serikat menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh militer dan politik Israel merasa bahwa dengan “melakukan tindakan militer sebelum diserang” bukan hanya lebih disukai, tetapi transformatif.
Diplomasi dan taksiran Intelijen
Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya.
Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat telegram dari pemerintah Israel. Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Eban bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk, Menteri Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. Pihak Amerika menyatakan bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung. Sejarahwan Michael Oren menerangkan tentang reaksinya:
“ | Eban sangat bingung dan tidak yakin bahwa Nasser bertekad atau malah berniat menyerang, dan sekarang nampak bahwa pihak Israel membesar-besarkan ancaman Mesir – dan menampilkan kelemahan mereka – untuk menarik janji bahwa Presiden yang dibatasi Kongres, tidak pernah membuatnya. Suatu tindakan tanpa ada tanggung jawab… aneh…’ adalah perkataan-perkataan yang ia kirim dalam telegram , dimana ia juga menulis, ‘kurang bijaksana, kurang tepat dan kurang kepahaman taktik. Tidak ada siapapun yang benar mengenai hal itu. | ” |
Dalam satu ceramah pada tahun 2002, Oren berkata,
“ | Johnson duduk disekeliling penasehat-penasehatnya dan berkata, “Bagaimana jika sumber intelijen mereka lebih baik daripada sumber intelijen kita?” | ” |
Johnson memilih untuk mengirim pesan kepada rekannya di Kremlin, Alexey Kosygin, dimana ia berkata,
“ | Kami mendengar dari Israel, tetapi kami tidak akan mengesahkannya, bahwa wakii anda di Timur Tengah, Mesir, sedang merancang untuk menyerang Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Jika anda tidak mau memulai krisis global, halangi mereka daripada berbuat demikian. | ” |
Pada pukul 2:30 pagi tanggal 27 Mei 1967, duta besar Uni Soviet di Mesir, Dimitri Pojidaev mengetuk pintu Nasser dan membacakan satu surat pribadi dari Kosygin dimana berkata,
“ | Kami tidak mau Mesir disalahkan sebagai biang keladi atas suatu peperangan di Timur Tengah. Jika anda melancarkan serangan itu, kami tidak dapat mendukung anda. | ” |
Abdel Hakim Amer berunding dengan rekannya di Kremlin, dan mereka telah mengesahkan pesanan Kosygin. Karena putus harapan, Amer memberitahu letnan kolonel angkatan udara Mesir, Mayor Jendral Mahmud Sidqi, bahwa operasi itu dibatalkan.” Menurut Wakil Presiden Mesir, Hussein al Shafei, segera Nasser mengetahui apa yang Amer rencanakan sehingga ia membatalkan operasi tersebut.
Pada tanggal 30 Mei 1967, Nasser membalas permintaan Johnson sebelas hari lebih awal dan setuju untuk mengirim Wakil Presiden Mesir, Zakkariya Muhieddin, ke Washington D.C. pada tanggal 7 Juni 1967 untuk mengeksplorasi suatu penyelesaian diplomatik dalam “pembukaan Gedung Putih yang terlihat”. Menteri Luar Negeri Dean Rusk sangat kecewa dengan serangan yang dilakukan Israel lebih dulu pada tanggal 5 Juni 1967 karena Amerika Serikat berusaha untuk mendapat penyelesaian diplomatik jika memungkinkan. Sejarahwan Michael Oren telah mencatat bahwa Rusk “marah seperti neraka” dan Johnson kemudian menulis bahwa “Saya tidak dapat menyembunyikan rasa kekesalan saya bahwa Israel telah memutuskan untuk melakukan apa yang telah dibuatnya”.
Di kalangan ahli politik Israel, diputuskan bahwa jika Amerika Serikat tidak bertindak, dan jika PBB tidak dapat bertindak, maka Israel akan bertindak. Pada tanggal 1 Juni 1967, Moshe Dayan dilantik sebagai Menteri Pertahanan Israel, dan pada tanggal 3 Juni 1967 administrasi Johnson memberikan suatu pernyataan yang meragukan bahwa Israel kembali dalam persiapan perang. Serangan Israel terhadap Mesir tanggal 5 Juni 1967 bermula dengan apa yang disebut sebagai Perang Enam Hari. Martin van Creveld menerangkan dorongan menuju peperangan:
“ | “…konsep bagi ‘perbatasan yang dapat dipertahankan’ bukanlah bagian dari kamus Angkatan Bersenjata Israel sendiri. Siapapun yang melihat kepada falsafah militer pada saat itu akan melakukannya dalam tekanan. Sebagai gantinya, letnan kolonel Israel berdasarkan pemikiran mereka terutama pada saat perang 1948, kemenangan mereka pada tahun 1956 atas Mesir. Apabila krisis tahun 1967 meletus, mereka yakin akan kemampuan mereka untuk memenangkan peperangan dengan ‘tegas, cepat and bergaya’, dimana satu dari anggota mereka, Jendral Haim Bar Lev, meletakkannya, dan menekan pemerintahan mereka untuk memulai peperangan secepat mungkin”. | ” |
Tentara yang bertempur
Terdapat sekitar 100.000 dari 160.000 pasukan Mesir di Sinai, termasuk semua dari 7 divisi (4 infantri, 2 lapis baja dan 1 dimaknisasikan), juga 4 infantri indenpenden dan 4 brigadir lapis baja indenpenden. Tidak kurang 3 dari mereka adalah veteran Mesir yang melakukan intervensi di Yaman pada saat Perang Saudara Yaman dan 3 lainnya adalah cadangan. Pasukan ini memiliki 950 tank, 1.100 APC dan lebih dari 1.000 artileri. Pada waktu yang sama beberapa tentara Mesir (15.000 – 20.000) masih bertempur di Yemen. 2 perasaan Nasser yang bertentangan tentang keinginannya digambarkan dalam perintahnya terhadap militer. Pegawai jenderal mengganti rencana operasional 4 kali pada bulan Mei tahun 1967, yang tiap perubahan harus dilakukan kembali distribusi pasukan, dengan korban yangtidak dapat dihindarkan baik tentara maupun peralatan. Pada saat menuju akhir Mei, Nasser akhirnya melarang pegawai jendral untuk melanjutkan rencana Qahir (“kemenangan”), dimana memanggil layar infantri ringan dalam fortifikasi selanjutnya dengan bagian terbesar pasukan menahan balik untuk menahan serangan balik besar-besaran dan melawan pasukan utama Israel ketika diidentifikasi, dan memerintahkan pertahanan lebih lanjut atas Sinai. Ia melanjutkan mengambil aksi untuk meningkatkan jumlah mobilisasi Mesir, Suriah dan Yordania, untuk membuat tekanan terhadap Israel.
Pasukan Yordania berjumlah 55.000, sedangkan pasukan Suriah memiliki 75.000 pasukan.
Pasukan Israel memiliki pasukan, termasuk pasukan cadangan, yang berjumlah 264.000, walaupun begitu jumlah ini tidak dapat ditopang, apalagi pasukan cadangan sangat vital untuk keselamatan rakyat sipil. James Reston menulis di koran New York Times pada tanggal 23 Mei 1967 mencatat, “Dalam kedisiplinan, pelatihan, moral, peralatan dan kemampuan jendral Mesir dan pasukan lainnya, tanpa bantuan langsung dari Uni Soviet, tidak ada apa-apanya dibanding Israel… Meskipun dengan 50.000 pasukan dan dengan jendral terbaiknya dan pasukan udaranya di Yaman, dia tidak akan bisa untuk melakukan jalannya di negara kecil dan primitif itu, dan usahanya untuk menolong pemberontak Kongo adalah sebuah kegagalan.
Pada sore hari tanggal 1 Juni 1967, Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan memanggil jendral Yitzhak Rabin dan Jendral Brigadir Komando Selatan Yeshayahu Gavish untuk menghadiri rencana melawan Mesir. Rabin telah mencampur rencana dimana komando selatan akan bertempur dalam perjalanannya menuju Jalur Gaza dan lalu menahan teritori dan orang-orangnya sebagai sandra hingga Mesir setuju untuk membuka kembali Selat Tiran, dimana Gavish memiliki rencana luas untuk memusnahkan pasukan Mesir di Sinai. Rabin lebih menyukai rencana Gavish, dimana disetujui oleh Dayan dengan hati-hati bahwa serangan serempak melawan Suriah harus dihindari.
Pertempuran
Pergerakan Israel yang pertama dan yang paling penting adalah serangan pre-emptif terhadap Angkatan Udara Mesir. Angkatan Udara Mesir merupakan tentara udara termodern dan terbesar di kalangan Angkatan udara Arab, memiliki kurang lebih 450 pesawat tempur, dan semuanya merupakan buatan Uni Soviet dan baru.
Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh Israel adalah 30 buah pesawat pengebom sederhana Tu-16 Badger, yang dapat memberikan kerusakan besar kepada pemukiman penduduk dan markas militer Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967 pukul 7:45 waktu Israel, sirine pertahanan rakyat sipil dibunyikan diseluruh Israel, Angkatan Udara Israel melancarkan Operasi Fokus (Moke). Semua 200 jet kecuali 12 yang boleh beroperasi [telah meninggalkan kawasan udara Israel dalam satu serangan besar terhadap bandara militer Mesir. Infrastruktur pertahanan Mesir memang lemah, dan tidak ada lapangan udara militer yang dilengkapi dengan bunker untuk mempertahankan pesawat terbang angkatan udara Mesir dalam satu serangan. Pesawat udara Israel bergerak menuju Laut Tengah sebelum kembali ke Mesir. Pada saat itu, pihak Mesir mengganggu pertahanan mereka sendiri dengan menutup seluruh pertahanan udara secara efektif, karena mereka takut jika pemberontak Mesir akan menembak jatuh pesawat terbang yang membawa seluruh Letjen Sidqi Mahmoud, yang berada dalam perjalanan dari al Maza ke Bir Tamada di Sinai untuk bertemu dengan letnan kolonel yang bertugas di sana. Dalam peristiwa ini memang tidak banyak bedanya kerana pilot terbang di bawah liputan radar dan sesuai dibawah titik terendah dimana baterai misil S-75 Dvina daratan-ke-udara akan menjatuhkan pesawat terbang tersebut. Israel telah menggunakan strategi serangan campuran, pengeboman dan tembakan yang bertubi-tubi terhadap pesawat, dengan sistem serangan bom menembus bandara yang menyebabkan bandara tidak berguna untuk pesawat-pesawat yang tidak musnah dan oleh sebab itu, menjadikannya sasaran yang tidak dapat diselamatkan karena gelombang-gelombang serangan Israel. Serangan tersebut lebih sukses dibanding yang diharapkan. Serangan itu hampir memusnahkan seluruh Angkatan Udara Mesir di daratan tanpa banyak pengorbanan Israel. Lebih dari 300 pesawat Mesir dimusnahkan, dengan 100 pilot Mesir dibunuh Israel kehilangan 19 pesawat terbang karena kehilangan kendali, yaitu kegagalan mekanik, dan sebagainya. Serangan ini juga menjamin keunggulan udara Israel pada perang ini.
Sebelum peperangan ini terjadi, pilot Israel di lapangan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk memperlengkap serangan deras pesawat yang kembali setelah melakukan serangan tiba-tiba, menyebabkan 1 pesawat melakukan serangan tiba-tiba empat kali sehari (hal ini bertentangan dengan norma angkatan udara Arab yang hanya dapat melakukan satu atau dua serangan udara setiap hari). Hal ini membuat Angkatan Udara Israel menurunkan banyak gelombang serangan terhadap bandara militer Mesir pada saat perang yang pertama, dan mengalahkan Angkatan Udara Mesir. Hal ini juga menyebabkan orang Arab mempercayai bahwa Angkatan Udara Israel dibantu oleh militer asing.
Menyusul kemenangan gelombang-gelombang serangan permulaan terhadap bandara militer Mesir yang utama, serangan-serangan susulan dibuat pada akhir hari pertama terhadap bandara yang lebih kecil serta bandara Yordania, Suriah, dan juga Irak. Sepanjang perang, pesawat-pesawat Israel meneruskan tembakan yang bertubi-tubi terhadap bandara Mesir untuk mencegah pemulihan bandara tersebut.
Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai
Pasukan Mesir terdiri dari 7 divisi, yaitu 4 divisi lapis baja, 2 divisi infantri, dan 1 divisi infantri yang dimaknisasi. Mesir memiliki sekitar 100.000 pasukan dan 900-950 tank di Sinai, dipersenjatai dengan 1.100 Pengangkut personel lapis baja dan 1.000 artileri. Penyusunan ini berdasarkan dari doktrin Uni Soviet, di mana mobil lapis baja menyediakan pertahanan dinamik ketika infantri ikut serta dalam pertempuran yang bersifat pertahanan.
Pasukan Israel mengkonstrasikan di perbatasan Mesir dengan mengikutsertakan 6 brigadir lapis baja, 1 brigadir infantri, 1 brigadir infantri yang dimaknisasi, 3 brigadir pasukan payung dan 700 tank yang berjumlah 70.000 orang, diatur dalam 3 divisi lapis baja. Rencana Israel adalah untuk mengejutkan pasukan Mesir (serangan tersebut tentu saja bertepatan dengan serangan Angkatan Udara Israel terhadap bandara Mesir), yang menyerang melalui rute utara dan tengah Sinai, dimana diluar dugaan Mesir karena Mesir mengguna Israel akan menggunakan rute yang sama dengan serangan tahun 1956, dimana Angkatan Bersenjata Israel menyerang melalui rute tangah dan selatan.
Pada divisi Israel yang di utara, terdapat 3 brigadir dan diperintah oleh Mayor Jendral Israel Tal, salah satu letnan kolonel yang paling penting, menyerang dengan lambat melewati Jalur Gaza dan El Arish, yang tidak dilindungi.
Divisi tengah yang diperintah oleh Avraham Yoffe dan divisi selatan yang diperintah oleh Ariel Sharon, memasuki daerah Abu-Ageila-Kusseima yang sangat dilindungi oleh Mesir yang membuat terjadinya Pertempuran Abu-Ageila. Pasukan Mesir yang berada disana terdiri dari 1 divisi militer, 1 batalyon tank perusak dan 1 regimen tank.
Sharon melakukan sebuah serangan, yang telah direncanakan. Ia mengirim 2 dari brigadirnya ke sisi utara Um-Katef, yang pertama yang dapat menembus pertahanan Abu-Ageila ke selatan, dan yang kedua yang dapat memblok jalan menuju El Arish dan untuk melingkari Abu-Ageila dari timur. Pada waktu yang sama, pasukan payung terjun didekat bagian belakang posisi bertahan pasukan mesir dan menghancurkan artileri untuk mencegah penggunaan artileri untuk membalas serangan infantri Israel dengan artileri tersebut. Dengan digabungkannya pasukan, tank, pasukan payung, infantri, artileri, dan insinyur militer yang menyerang Mesir dari depan, belakang dan sisi lainnya. Pertempuran berlangsung 3 setengah hari sampai akhirnya Abu-Ageila jatuh.
Banyak pasukan Mesir yang tetap utuh dan terus mencoba mencegah pasukan Israel mencapai Terusan Suez atau menyerang secara tiba-tiba dalam usaha untuk mencapai kanal. Namun, ketika Menteri Pertahanan Mesir, Abdel Hakim Amir mendengar berita tentang jatuhnya Abu-Ageila, ia panik dan emmerintahkan seluruh pasukan di Sinai untuk mundur. Perintah ini berarti kekalahan Mesir.
Karena mundurnya pasukan Mesir, letnan kolonel tertinggi Israel memilih untuk tidak mengejar pasukan Mesir, namun lebih baik menyusul dan menghancurkan mereka di wilayah pegunungan di Sinai Barat. Setelah itu, dalam waktu 2 hari (6 Juni 7 Juni 1967), seluruh 3 divisi Israel (Sharon dan Tal diperkuat oleh brigadir lapis baja) maju menuju barat dan mencapai jalan di daerah pegunungan. Divisi Sharon pertama pergi menuju selatan dan barat menuju celah Mitla. Semua pasukannya bergabung disana dengan bagian dari divisi Yoffe, ketika pasukan lainnya memblok celah Gidi. Pasukan Tal juga berhenti di berbagai tempat.
Aksi blokade Israel hanya sukses di celah Gidi yang dapat direbut sebelum pasukan Mesir muncul, namun di tempat lain, pasukan Mesir dapat melewati dan menyebrang untuk keselamatan terusan. Namun, kemenangan Israel tetaplah mengagumkan. Dalam operasi selama 4 hari, pasukan Israel menaklukan pasukan yang paling besar dan pasukan paling bersenjata di Arab, meninggalkan beberapa tempat di Sinai terbuang dengan ratusan pembakaran atau mobil Mesir yang ditinggalkan dan persenjataan militer.
Pada tanggal 8 Juni 1967, Israel menyelesaikan pendudukan Sinai dengan mengirim pasukan infantri ke Ras-Sudar (ladang minyak di teluk Suez) di pantai barat semenanjung tersebut.
Terdapat beberapa penyebab yang membuat serangan cepat Israel menjadi mungkin untuk dilakukan, pertama, keunggulan Angkatan Udara Israel atas Mesir, kedua, Israel membuat rencana perang yang baik, dan yang ketiga, koordinasi yang kurang diantara pasukan Mesir. Hal tersebut juga menjadi elemen kemenangan di front Israel yang lainnya.
Tepi Barat
Yordania enggan untuk memasuki perang ini. Beberapa menyatakan bahwa Nasser menggunakan ketidakjelasan pada jam pertama konflik tersebut untuk meyakinkan Hussein bahwa ia menang. Nasser menyatakan sebagai bukti bahwa sebuah radar melihat 1 skuadron pesawat tempur Israel kembali dari bombardmen di Mesir yang dinyatakan oleh Nasser sebagai pesawat Mesir yang menyerang Israel. Salah satu brigadir Yordania yang berpatroli di Tepi Barat dikirim ke daerah Hebron untuk berhubungan dengan Mesir. Hussein memilih untuk menyerang.
Pada perang, militer Yordania, termasuk 11 brigadir yang berjumlah 55.000 pasukan, dilengkapi dengan 300 tank modern. 9 brigadir (45.000 tentara, 270 tank, 200 artileri) didistribusikan ke Tepi Barat, termasuk brigadir elit lapis baja ke-40, dan 2 di Lembah Yordania. Pasukan Arab merupakan pasukan yang berpengalaman, profesional, memiliki persenjataan yang cukup dan sudah cukup terlatih, bahkan pos perang Israel menyatakan bahwa jendral Yordania beraksi dengan profesional, tapi selalu meninggalkan "setengah dari langkah" di belakang oleh pergerakan Israel. Pada Angkatan Udara Yordania hanya terdapat 24 pesawat tempur Hawker Hunter buatan Britania Raya. Menurut Israel, pesawat Hawker Hunter sejajar dengan Dassault Mirage III buatan Perancis yang merupakan pesawat terbaik Angkatan Udara Israel.
Untuk melawan pasukan Yordania di Tepi Barat, Israel mendistribusikan sekitar 40.000 pasukan dan 200 tank {8 brigadir). Pada pasukan utama Israel terdapat 5 brigadir. 2 brigadir berpatroli di Yerusalem dan disebut Brigadir Yerusalem dan Brigadir Harel yang dimaknisasikan. Brigadir pasukan payung ke-55 Mordechai Gur dipanggil dari front Sinai. Sebuah brigadir lapis baja dialokasikan dari pasukan cadangan dan dibawa ke daerah Latrun. Brigadir lapis baja ke-10 berpatroli di utara Tepi Barat. Komando utara Israel menyediakan sebuah divisi 3 brigadir) yang dipimpin oleh mayor jendral Elad Peled, yang berpatroli di utara Tepi Barat, di Lembah Jezreel.
Rencana Angkatan Bersenjata Israel merupakan rencana untuk tetap bertahan di front Yordania, agar dapat mengutamakan serangan atas Mesir. Namun, pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, pasukan Yordania melakukan daya tolak di daerah Yerusalem, menduduki rumah pemerintahan yang digunakan sebagai benteng untuk pengamat PBB dan menembak bagian barat kota Yerusalem. Pasukan di Qalqiliya menembak ke arah kota Tel Aviv. Angkatan Udara Yordania menyerang bandara Israel. Baik serangan udara maupun artileri menyebabkan kerusalakan kecil. Pasukan Israel berpencar untuk menyerang pasukan Yordania di Tepi Barat. Pada siang hari di hari yang sama, Angkatan Udara Israel beraksi dan menghancurkan Angkatan Udara Yordania. Pada sore hari, brigadir infantri Yerusalem bergerak ke arah selatan Yerusalam, ketika pasukan payung Harel dan Gur melingkari dari utara.
Pada tanggal 6 Juni 1967, pasukan Israel menyerang. Brigadir pasukan payung cadangan menyelesaikan pelingkaran Yerusalem dalam pertarungan yang berdarah, yaitu Pertempuran Bukit Amunisi, pertempuran yang terjadi di pos militer Yordania di Yerusalem Timur. Brigadir infantri menyerang benteng di Latrun dan merebutnya pada akhir hari, dan maju melewati Beit Horon menuju Ramallah. Brigadir Harel melanjutkan serangannya ke daerah pegunungan di barat laut Yerusalem. Pada sore hari, brigadir tersebut tiba di Ramallah. Angkatan Udara Israel mendeteksi dan menghancurkan Brigadir Yordania ke-60 dengan Angkatan Udara Israel mengalihkan rute dari Yerikho untuk memperkuat Yerusalem.
Di utara, 1 batalion dari divisi Peled dikirim untuk memeriksa pertahanan Yordania di Lembah Yordania. Brigadir yang merupakan bagian dari divisi Peled merebut bagian barat dari Tepi Barat, dan yang lainnya merebut Jenin dan yang ketiga (dilengkapi dengan AMX-13) menyerang tank M48 Patton milik Yordania di timur.
Pada tanggal 7 Juni 1967, pertarungan berat terjadi kemudian. Pasukan payung Gur memasuki kota tua Yerusalem melewati gerbang singa dan merebut tembok ratapan dan Al Haram Al Sharif. Brigadir Yerusalem lalu memperkuat mereka, dan melanjutkan serangan ke selatan, merebut Yudea, Gush Etzion dan Hebron. Brigadir Harel melanjutkan serangan ke timur, bergerak menuju Sungai Yordan. Di Tepi Barat, salah satu brigadir Peled mengepung Nablus lalu bergabung dengan salah satu brigadir pasukan utama untuk bertempur melawan pasukan Yordania yang memiliki jumlah persenjataan yang lebih banyak dari Israel.
Kekuasaan udara Israel menjadi faktor kekalahan Yordania. Salah satu brigadir Peled bergabung dengan pasukan utama yang datang dari Ramallah, dan 2 lainnya mengeblok Sungai Yordan bersama dengan Pasukan Utama ke-10 (nantinya mereka menyebrangi Sungai Yordan ke Tepi Timur untuk menyediakan tempat untuk insinyur militer ketika mereka meledakan jembatan, tapi akhirnya dengan cepat mundur karena tekanan Amerika Serikat).
Dataran Tinggi Golan
Laporang orang Mesir yang salah tentang kemenangan atas pasukan Israel, dan ramalan bahwa artileri Mesir akan segera menguasai Tel Aviv membuat Suriah semakin yakin untuk memasuki perang. Kepemimpinan Suriah mengadopsi kemunculan yang lebih berhati-hati daripada mulai menyerang Israel Utara. Ketika Angkatan Udara Israel menyelesaikan misinya di Mesir, dan berbalik untuk menghancurkan Angkatan Udara Suriah yang terkejut, Suriah mengerti bahwa berita yang didengar dari Mesir tentang penghancuran atas militer Israel adalah berita palsu.Selama sore hari pada tanggal 5 Juni 1967, serangan udara Israel menghancurkan dua dari pesawat Angkata Udara Suriah, dan memaksa pesawat lainnya untuk mundur ke basis terdekat, tanpa memainkan peran lebih jauh dalam peperangan. Pasukan Suriah mencoba merebut pabrik air di Tel Dan. Beberapa tank Suriah juga dilaporkan tenggelam di sungai Yordan. Dalam berbagai kasus, komando Suriah berharap adanya serangan bawah tanah dan memulai serangan besar-besaran atas kota Israel di Lembah Hula.
Tanggal 7 Juni 1967 dan 8 Juni 1967 terlewati dengan hal seperti ini. Pada saat itu, debat telah terjadi di Israel bahwa Dataran Tinggi Golan juga harus diserang. Militer menyatakan bahwa serangan itu akan sangat mahal, karena pertempuran itu merupakan pertempuran di daerah pegunungan melawan musuh yang kuat. Pada sisi barat Dataran Tinggi Golan, terdapat lereng bebatuan yang tingginya mencapai 500 meter (1700 kaki) dari Danau Galilea dan Sungai Yordan. Moshe Dayan percaya bahwa operasi itu akan membuat sekitar 30.000 orang mati. Levi Eshkol, di tangan lain, lebih terbuka kepada kemungkinan pada sebuah operasi terhadap Dataran Tinggi Golan, dan juga ketua dari Komando Utara, David Elazar, yang sangat yakin bahwa operasi ini dapat mengikis keengganan Dayan. Akhirnya, dimana situasi di front selatan dan tengah bersih, Moshe Dayan menjadi lebih yakin dengan ide ini, dan ia memimpin operasi ini.
Jumlah pasukan Suriah sekitar 75.000 yang dikelompokan dalam 9 brigadir, didukung oleh jumlah artileri dan persenjataan yang cukup. Pasukan Israel yang digunakan dalam serangan terdiri dari 2 brigadir (satu brigadir lapis baja dipimpin oleh Albert Mandler dan Brigadir Golan) di bagian utara front, dan 2 lainnya (infantri dan 1 dari brigadir Peled yang dipanggil untuk Jenin) di front pusat. Walaupun tentara Suriah dapat bergerak dari utara ke selatan di dataran tinggi tersebut, tentara Israel dapat bergerak dari utara ke selatan di basis tebing Golan. Keunggulan yang didapat oleh Israel adalah intelijen yang baik yang dapat mengumpulkan data oleh mata-mata Mossad, Eli Cohen (yang akhirnya tertangkap dan dieksekusi di Suriah tahun 1965) mendapat informasi tentang posisi pertempuran Suriah.
Angkatan Udara Israel yang telah menyerang artileri Suriah selama 4 hari, mendapat perintah untuk menyerang posisi Suriah dengan seluruh pasukannya. Ketika artileri yang dilindungi dengan baik hampir tidak terdapat kerusakan, pasukan darat tetap berada di Dataran Tinggi Golan (6 dari 9 brigadir) menjadi tidak dapat mengatur pertahanan. Pada sore hari tanggal 9 Juni 1967, 4 brigadir Israel telah menembus Dataran Tinggi Golan, dimana mereka dapat diperkuat dan diganti.
Pada tanggal 10 Juni 1967, grup tengah dan utara bergabung dalam pergerakan di dataran tinggi, namundaerah tersebut direbut dalam keadaan kosong dimana pasukan Suriah telah melarikan diri. Beberapa pasukan gabungan yang dipimpin oleh Elad Peled memanjat Golan dari selatan, hanya untuk mendapati posisi yang kosong. Selama hari itu, pasukan Israel berhenti setelah menerima manuver diantara posisi mereka dimana terdapat garis dari lereng gunung berapi ke barat. Di bagian timur, relief dataran rendah adalah relief padang rumput yang terbuka. Posisi ini menjadi garis gencatan senjata yang diketahui dengan nama "Garis Ungu.
Perang di udara
Selama perang enam hari, Angkatan Udara Israel mendemonstrasikan kepentingan kekuasaan udara selama terjadinya konflik militer modern, terutama dalam front padang pasir. Dengan serangan Angkatan Udara Israel yang dimulai selama matahari terbit, angkatan udara Israel dapat menaklukan angkatan udara Arab dan mendapat kekuasaan udara di seluruh front, dan menjadi salah satu penyebab kemenangan Israel pada perang ini, dan yang paling menarik adalah dihancurkannya brigadir lapis baja ke-60 Yordania didekat Yerikho dan srangan terhadap brigadir lapis baja Irak yang dikirim untuk menyerang Israel melalui Yordania
Angkatan Udara Arab tidak pernah berhasil untuk membuat serangan yang efektif, contohnya serangan pejuang Yordania dan pengebom Tu-16 Mesir terhadap Israel selama 2 hari pertama tidak berhasil dan memimpin penghancuran pesawat tempur (pengebom Mesir ditembak jatuh ketika pejuang Yordania dihancurkan selama diserang).
Beberapa pilot Arab yang kecewa berkhianat dengan MiG pada Israel terlebih dahulu pada pecahnya konflik. Israel mengkapitalisasikan pada hal ini dengan uji coba penerbangan MiG pada tingkat maksimum, yang memberi pilot Israel keunggulan terhadap musuh mereka. Pengkhianatan Arab yang menarik perhatian termasuk:
- Pada 19 Januari 1964, pilot Mesir, Mahmud Abbas Hilmi berkhianat dari Lapangan Udara el-Arish ke Lapangan Udara Hatzor di Israel di Yakovlev Yak-11nya.
- Pada tahun 1965, pilot Suriah berkhianat pada MiG-17F kepada Israel.
- Pada tahun 1966, Kapten Irak Munir Redfa menerbangkan MiG-21F-13 ke Israel. Setelah pengkhianatan kapten Redfa, 3 MiG-21F-13 dan paling sedikit 6 MiG-17F pilot Aljazair ditangkap oleh Israel setelah mendaratkan pesawat mereka di Lapangan Udara el-Arish Israel karena kesalahan. Salah satu pilot Aljazair yang ditangkap dipertanyakan dan mendapat asylum politik di Barat, sementara sisanya dipulangkan.
- Paling sedikit dua pilot Irak berkhianat ke Yordania dengan MiG-21F-13. Yordania memberi mereka asylum politik tetapi mengembalikan pesawatnya ke Irak.
Pada 6 Juni, hari kedua perang, Raja Hussein dan Nasser menyatakan bahwa pesawat Amerika dan Britania ikut serta dalam serangan Israel.
Perang di laut
Perang di laut sangat terbatas. Pergerakan kapal perang Israel dan Mesir digunakan untuk menyerang dari sisi lain, tapi tidak pernah secara langsung ikut serta dalam pertarungan lainnya di laut. Pergerakan yang mendapat sebuah hasil adalah penggunaan 6 manusia katak Israel di pelabuhan Alexandria (mereka tertangkap karena menenggelamkan sebuah kapal), dan kru kapal ringan Israel yang merebut Sharm el-Sheikh di daerah selatan semenanjung Sinai pada tanggal 7 Juni 1967. Pembersih ranjau Mesir tenggelam di pelabuhan Hurgahda. Kapal yang tenggelam disebut sebagai El Mina, yang diterjemahkan sebagai "pelabuhan".
Insiden USS Liberty
Pada tanggal 8 Juni 1967, terjadi sebuah serangan pesawat tempur dan kapal torpedo Israel terhadap kapal intelijen Amerika Serikat USS Liberty sekitar 12.5 mil laut (23 km) lepas pantai Semenanjung Sinai, di utara kota Mesir El Arish. Serangan ini menewaskan 34 tentara Amerika Serikat dan melukai setidaknya 173 orang dimana serangan ini adalah serangan yang paling mematikan kedua terhadap kapal perang Amerika Serikat sejak Perang Dunia II, terbesar kedua setelah serangan rudal Exocet Irak terhadap kapal USS Stark pada tanggal 17 Mei 1987, dan menimbulkan korban jiwa terbesar dalam sejarah komunitas intelijen AS. Israel menyatakan bahwa terjadi kesalahan identifikasi dan Israel meminta maaf dengan membayar ganti rugi terhadap keluarga korban. Kebenaran tentang klaim Israel masih diperdebatkan, namun Amerika Serikat menerima bahwa insiden ini adalah sebuah kecelakaan.
Akhir konflik dan keadaan pasca-perang
Wilayah yang direbut Israel
Tanggal 11 Juni, Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi Golan. Secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel di wilayah yang baru didapat (banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut mengungsi ke luar Israel). Batas Israel bertambah paling sedikit 300 km ke selatan, 60 km ke timur, dan 20 km ke utara.
Korban jiwa
Korban yang jatuh dari pihak Israel, jauh dari perkiraan semula yang berjumlah lebih dari 10.000, termasuk sedikit: 338 prajurit meninggal di medan pertempuran Mesir, 550 meninggal dan 2.400 luka di medan pertempuran Yordania dan 141 di medan pertempuran Suriah. Mesir kehilangan 80% peralatan militer mereka, 10.000 prajurit meninggal dan 1.500 panglima terbunuh, 5.000 prajurit and 500 panglima tertangkap, dan 20.000 korban luka. Yordania mengalami korban 700 meninggal dan sekitar 2.500 terluka. Suriah kehilangan 2.500 jiwa dan 5.000 terluka, separo kendaraan lapis baja dan hampir semua artileri yang ditempatkan di Dataran Tinggi Golan dihancurkan. Data resmi dari korban Irak adalah 10 meninggal dan sekitar 30 terluka.
Perubahan religius
Akhir dari perang juga membawa perubahan religius. Di bawah pemerintahan Yordania, orang-orang Yahudi dan Nasrani dilarang memasuki Kota Suci Yerusalem, yang termasuk Tembok Ratapan, situs paling suci orang Yahudi sejak kehancuran Bait Suci mereka. Orang Yahudi merasakan situs-situs Yahudi tidak dirawat, dan kuburan-kuburan mereka telah dinodai. Setelah dikuasai Israel, pelarangan ini dibalik. Israel mempersulit para pemuda Islam yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan alasan keamanan, dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan, meskipun Masjid Al-Aqsa dipercayakan di bawah pengawasan wakaf Muslim dan orang-orang Yahudi dilarang untuk beribadah di sana.
Insiden lain ialah adanya penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa dengan tujuan mencari Haikal Sulaiman (Bait Suci Kedua) yang membuat pondasi masjid menjadi rapuh dan kemungkinan besar masjid dapat ambruk.Situs Al-Aqsa Online menyebutkan (15/2/2008), telah terjadi longsoran yang menimbulkan lubang sedalam dua meter dengan diameter 1,5 meter. Longsoran itu terjadi di dekat Pintu Gerbang Al-Selsela dan sumber air Qatibai, sisi barat masjid. Dalam pernyataannya, lembaga rekonstruksi tempat-tempat suci Islam Al-Aqsa Foundation menyatakan, longsoran itu disebabkan oleh penggalian yang dilakukan sekelompok warga Israel di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa dan penggalian tersebut sudah mencapai Pintu Gerbang Selsela. Hal serupa juga dilontarkan gerakan Islam di Israel pimpinan Syaikh Raed Salah, yang menyerukan agar negara-negara Muslim segera mengambil langkah untuk menghentikan penggalian tersebut yang dilakukan di kompleks Masjid Al-Aqsa.
Selain kegiatan penggalian, pada Februari 2007, buldoser-buldoser Israel menghancurkan jembatan kayu menuju Pintu Gerbang Al-Maghariba dan menghancurkan dua ruang di bawah tanah, komplek Masjid Al-Aqsa. Aksi Israel ini menuai protes dari rakyat Palestina dan negara-negara Muslim. Namun Israel seakan-akan tidak mendengarkan kecaman-kecaman itu.
Perubahan politik
Pengaruh Perang Enam Hari tahun 1967 dari segi politik amat besar. Israel telah menunjukkan bahwa Israel tidak hanya mampu, tetapi juga hendak memulai serangan-serangan strategik yang dapat merubah keseimbangan wilayah. Mesir dan Suriah mempelajari berbagai kemungkinan taktikal, tetapi mungkin bukan yang strategik. Mereka kemudian melancarkan serangan pada tahun 1973, dalam satu percobaan untuk menguasai kembali wilayah yang telah direbut Israel.
Menurut Chaim Herzog:
“ | Pada tanggal 19 Juni 1967, Pemerintah Israel melakukan pemungutan suara untuk mengembalikan Sinai kepada Mesir dan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah sebagai imbalan atas terjadinya perjanjian perdamaian. Dataran Tinggi Golan akan dijadikan kawasan bebas militer, serta perjanjian khusus akan dibuat untuk persoalan Selat Tiran. Israel juga berketetapan untuk memulai perundingan dengan Raja Hussein dari Yordania mengenai perbatasan timurnya. [95] | ” |
Keputusan Israel akan disampaikan kepada negara-negara Arab melalui Amerika Serikat. Namun, walaupun Amerika Serikat diberitahu tentang keputusan ini, ia tidak diberitahu bahwa Israel memerlukan bantuannya untuk menyampaikan keputusan ini kepada Mesir dan Suriah. Oleh sebab itu, beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Mesir dan Suriah tidak pernah menerima tawaran itu.
Resolusi Khartoum membuat ketetapan bahwa “tidak akan ada perdamaian, pengakuan, atau perundingan dengan Israel”. Namun, seperti yang diperhatikan Avraham Sela, resolusi Khartoum menandakan secara berkesan suatu peralihan tanggapan pertempuran negara-negara Arab daripada persoalan tentang kesahan Israel kepada persoalan wilayah dan perbatasan dan ini ditegaskan pada tanggal 22 November 1967 ketika Mesir dan Yordania menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242.
Keputusan kabinet pada tanggal 19 Juni 1967 tidak termasuk Jalur Gaza dan oleh sebab itu, mengakibatkan kemungkinan Israel untuk memperoleh sebagian Tepi Barat secara permanen. Pada tanggal 25 – 27 Juni 1967, Israel menggabungkan Yerusalem Timur bersama kawasan-kawasan Tepi Barat di utara dan selatan kedalam kawasan Israel yang baru.
Satu lagi aspek peperangan adalah mengenai para penduduk yang menghuni di wilayah-wilayah yang direbut Israel, dan dari sekitar 1 juta orang Palestina di Tepi Barat, 300.000 melarikan diri ke Yordania dan menyumbang pergolakan yang semakin bertambah di sana. 600.000 orang yang lain tetap tinggal di Tepi Barat. Di Dataran Tinggi Golan, sebanyak 80.000 orang Suriah melarikan diri. Hanya para penghuni Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan yang menerima hak kediaman Israel yang terbatas dan Israel menganeksasi wilayah tersebut pada tahun 1980.
Baik Yordania dan Mesir akhirnya menarik balik tuntutan masing-masing terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza (Semenanjung Sinai dikembalikan kepada Mesir pada tahun 1978, dan persoalan Dataran Tinggi Golan masih dirundingkan dengan Suriah). Selepas penaklukan “wilayah-wilayah” baru ini oleh Israel, sebuah usaha penempatan yang besar dilancarkan oleh Israel untuk mengamankan daerah permanen Israel. Terdapat ratusan ribu penduduk Israel di wilayah-wilayah tersebut pada hari ini, walaupun penempatan-penempatan Israel di Jalur Gaza telah dipindahkan dan dimusnahkan pada bulan Agustus tahun 2005.
Kontroversi
Peristiwa-peristiwa pada saat Perang Enam Hari yang dramatik telah menimbulkan beberapa tuduhan serta teori-teori yang penuh dengan kontroversi.
Angkatan Bersenjata Israel membunuh tawanan perang Mesir
Dalam sebuah pertemuan untuk Radio Israel pada tanggal 16 Agustus 1995, Aryeh Yitzhaki yang dahulu bertugas di Pusat Pengajian Sejarah Angkatan Bersenjata Israel di Universitas Bar-Ilan menuduh bahwa pasukan Israel melakukan pembunuhan sehingga 1.000 orang Mesir yang tak bersenjata dibunuh oleh Angkatan Bersenjata Israel. Tuduhan itu menerima perhatian yang meluas di Israel serta di seluruh dunia. Namun, Yitzhaki kemudian diketahui bahwa ia merupakan seorang ahli Partai Tsomet (partai politik sayap kanan Israel) yang diketuai oleh Rafael Eitan. Meir Pa’il, seorang politikus dan ahli sejarah yang pernah memperkerjakan Yitzhaki sebagai asistennya, menyatakan bahwa Yitzhaki mempunyai niat terselubung untuk mengalihkan perhatian orang dari penuduhan oleh Jendral Arye Biro tentang keikutsertaan Yitzhaki dalam pembunuhan 49 orang tawanan perang pada saat perang tahun 1956.
Walaupun tuduhan Yitzhaki tidak pernah disahkan, banyak anggota militer yang tampil ke depan semasa perdebatan negara di Israel yang penuh dengan kontroversi untuk mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan pembunuhan tawanan tidak bersenjata. Ahli sejarah militer Israel, Uri Milstein, dilaporkan berkata bahwa banyak kejadian yang serupa telah dilakukan dalam peperangan itu: “Itu bukan dasar resmi, tetapi terdapat suasana bahwa perbuatan itu tidak salah. Sebagian letnan kolonel memutuskan untuk membuatnya, dan ada yang enggan berbuat demikian. Tetapi setiap orang tahu akan perkara itu”.
Dokumen Angkatan Bersenjata Israel pada tanggal 11 Juni 1967 menunjukan adanya larangan untuk membunuh tawanan, dan menjelaskan kedudukan resmi Israel. Namun, tidak terdapat dokumen resmi Israel yang membenarkan skala pembunuhan untuk ditaksirkan dengan tepat.
Menurut laporan New York Times pada tanggal 21 September 1995, Mesir telah mengumumkan penemuan dua kuburan yang berisi banyak orang dan tidak dalam di El Arish, Sinai, dimana terdapat jasad 30-60 tawanan Mesir yang ditembak oleh tentara Israel selama perang enam hari. Israel dilaporkan menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban.
Menurut arsip resmi Israel, sebanyak 4.338 tentara Mesir telah ditangkap oleh Angkatan Bersenjata Israel. 11 tentara Israel telah ditangkap oleh tentara Mesir. Pertukaran tawanan selesai pada tanggal 23 Januari 1968.
Dukungan Amerika Serikat dan Britania Raya
Sebagian orang Arab mempercayai bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya memberikan dukungan yang aktif kepada Angkatan Udara Israel. Tuduhan tentang dukungan pertempuran Amerika Serikat dan Britania Raya kepada Israel bermula pada hari kedua peperangan tersebut. Radio Kairo dan akhbar kerajaan Al-Ahram membuat beberapa tuduhan, antaranya:
- pesawat-pesawat dari kapal induk pesawat udara Amerika Serikat dan Britania Raya membuat serangan terhadap angkatan tentera Mesir
- pesawat-pesawat Amerika Serikat yang ditempatkan di Libya menyerang Mesir
- satelit mata-mata Amerika Serikat memberikan informasi kepada Israel.
Suriah dan Yordania membuat laporan-laporan yang serupa dalam siaran-siaran Radio Damaskus dan Radio Amman. Tuduhan ini juga disebut lagi oleh Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, dalam ucapannya saat peletakan jabatannya pada tanggal 9 Juni 1967 (peletakan jabatannya ditolak). London dan Washington D.C. membantah tuduhan ini, dan tidak terdapat bukti yang mendukung tuduhan tersebut. Dalam lingkungan pemerintahan Amerika Serikat dan Britania Raya tuduhan ini dengan cepatnya dikenali sebagai “kebohongan besar”. Walaupun begitu, tuduhan bahwa orang-orang Arab sedang bertempur dengan Amerika Serikat serta Britania Raya, dan bukan hanya dengan Israel, berterusan dalam dunia Arab.
dengan percobaan-percobaan imperialis yang dahulu untuk menguasai dunia Arab, dan menggambarkan Israel sebagai satu “kacung” imperialis. Pengulangan kisah dongeng ini, dengan hanya sedikit perubahan, dalam semua buku teks sejarah bermaksud bahwa semua kanak-kanak sekolah Mesir telah diindoktrinasikan dengan cerita sulit itu.” Sebuah telegram Britania ke kubu-kubu Timur Tengah menyimpulkan: “Keengganan Arab untuk menolak semua versi palsu itu berasal sebagian dari keperluan untuk mempercayai bahwa tentara Israel tidak dapat menewaskan mereka dengan begitu saja tanpa bantuan luar.”
Ahli-ahli sejarah seperti Michael Oren memperdebatkan bahwa dengan mengenakan tuduhan salah terhadap Amerika Serikat dan Britania Raya kerana membantu Israel secara langsung. Sebagai tindak balas terhadap tuduhan itu, negara-negara minyak Arab kemudian mengumumkan boikot minyak. 6 negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Lebanon menarik kedutaan besarnya.
Pemimpin-pemimpin Arab sedang mencoba memperoleh bantuan militer yang aktif dari Uni Soviet untuk diri sendiri. Namun, pihak Soviet mengetahui bahwa tuduhan tentang bantuan asing terhadap Israel itu tidak berasas, dan memberitahu diplomat-diplomat Arab di Moskwa tentang fakta ini. Walaupun Uni Soviet tidak mempercayai tuduhan-tuduhan itu, media Soviet meneruskan pemetikan tuduhan-tuduhan tersebut dan dengan itu, menipiskan kepercayaan laporan-laporan itu.
Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1993, Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, menyatakan bahwa keputusan untuk menempatkan Armada Keenam Amerika Serikat di Laut Tengah bagian Timur untuk mempertahankan Israel, bahkan jika diperlukan, telah mencetuskan krisis antara Amerika Serikat dan Kesatuan Soviet. Armada tersebut sedang menjalani latihan tentera laut berhampiran dengan Gibraltar ketika itu. McNamara tidak menerangkan bagaimana krisis itu diatasi.
Dalam bukunya, Enam Hari, Jeremy Bowen, wartawan BBC, menuduh bahwa selama krisis itu, kapal-kapal dan pesawat-pesawat Israel membawa simpanan senjata Britania dan Amerika Serikat dari tanah Britania Raya.
Desakan Uni Soviet
Terdapat teori-teori bahwa seluruh perang pada tahun 1967 merupakan suatu percobaan yang tidak semestinya oleh Uni Soviet dengan tujuan meningkatkan ketegangan antara Jerman Barat dengan negara-negara Arab melalui dukungan Jerman Barat terhadap Israel.
Dalam sebuah artikel tahun 2003, Isabella Ginor memperincikan dokumen-dokumen GRU Soviet yang memuat rencana tersebut. Ia juga memperincikan informasi intelijen yang salah yang diberikan kepada Mesir, yang menyatakan tentang bertambahnya jumlah militer Israel besar-besaran.
Tokoh penting
- Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir
- Raja Hussein dari Yordania
- U Thant, Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa
- Levi Eshkol, Perdana Menteri Israel
- Moshe Dayan, Menteri Pertahanan Israel, Jenderal Israel
- Abba Eban, Menteri Luar Negeri Israel
- Lyndon B. Johnson, Presiden Amerika Serikat
- Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat
- Leonid Brezhnev, Pemimpin Soviet
sumber : http://korananakindonesia.wordpress.com/2010/06/01/perang-arab-israel-1967-perang-enam-hari-cikal-bakal-konflik-arab-israel/
No comments:
Post a Comment